Bagaimana Sastra dan Politik Saling Terhubung?
Belakangan saya rutin menulis opini tentang perkembangan politik yang terjadi jelang pemilu. Mulai dari urusan pemilih muda, kaderisasi partai, hingga dinasti. Beberapa kawan mengira saya tidak lagi menulis sastra, nyatanya saya sedang dituntut editor untuk segera merampungkan naskah cerpen yang masih dalam proses revisi. Di satu sisi, keranjingan menulis opini dengan tema-tema politik membuat waktu menulis atau merevisi cerpen menjadi sedikit berkurang. Namun, proses menulis dengan konsep atau suasana yang berbeda memberikan perspektif lain dalam memandang cerita-cerita yang ada di naskah kumcer itu. Saya menjadi lebih sadar, bahwa narasi yang kita hadirkan dalam setiap karya berpeluang membuka dan menyebarkan pesan dari sikap politik yang kita yakini.
Politik mungkin kerap diterima sebagai sesuatu yang terkesan negatif. Hanya saja, politik menjadi domain yang tidak akan lepas dari kehidupan kita. Jarak pemahaman dan penerimaan kita terhadap politik kerap begitu jauh. Drama politik yang menghiasi berbagai media wajar saja membuat kita muak dengan apa yang diperlihatkan para politisi. Akan tetapi, ini bukan berarti bahwa kita tak perlu lagi peduli atau bahkan menolak politik itu sendiri. Karya sastra sendiri, bisa menjadi sebuah langkah politis. Mengapa?
Sastra dan politik sering kali dianggap sebagai domain yang terpisah, tetapi keduanya memiliki hubungan yang kompleks dan saling memengaruhi. Sastra tidak hanya mencerminkan realitas politik suatu era, tetapi juga memiliki potensi untuk mempengaruhi dan membentuk pandangan politik. Sastra sering kali mencerminkan konteks politik di mana ia diciptakan. Dari karya Shakespeare yang menangani isu kekuasaan dan legitimasi, hingga novel-novel dystopian seperti “1984” George Orwell yang mengkritik totalitarisme, sastra menjadi medium untuk mengomentari dan merefleksikan realitas politik. Dalam konteks ini, sastra berfungsi sebagai catatan sejarah, memberikan wawasan tentang norma, nilai, dan konflik politik suatu zaman.
Di sisi lain, sastra juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi politik. Karya-karya seperti “Uncle Tom’s Cabin” karya Harriet Beecher Stowe memainkan peran penting dalam mempengaruhi pandangan publik tentang perbudakan dan mendorong gerakan abolisionis. Demikian pula, puisi dan lagu-lagu dari gerakan Hak Sipil memperkuat pesan solidaritas dan perlawanan. Sastra, dalam bentuknya yang beragam, memiliki kekuatan untuk membangkitkan empati, meningkatkan kesadaran, dan memotivasi tindakan politik.
Interaksi antara sastra dan politik tidak hanya termanifestasi dalam konten karya, tetapi juga dalam hubungan dinamis antara penulis dan konteks politik mereka. Penulis sering kali menjadi saksi, komentator, atau kritikus terhadap kondisi politik dan sosial di sekitar mereka. Dalam beberapa kasus, seperti di negara-negara dengan rezim otoriter atau di masa konflik, penulisan dapat menjadi bentuk perlawanan. Contohnya adalah Aleksandr Solzhenitsyn yang karyanya mengkritik keras Uni Soviet, atau penulis-penulis seperti Ngũgĩ wa Thiong'o yang menggunakan sastra untuk melawan penjajahan dan imperialisme. Di sini, sastra menjadi lebih dari sekadar alat komunikasi; ia menjadi alat untuk perjuangan, identitas, dan ekspresi politik.
Hubungan antara sastra dan politik adalah permainan dua arah yang terus berubah dan saling mempengaruhi. Sastra tidak hanya mencerminkan dan mengkritik kondisi politik, tetapi juga membentuk dan mempengaruhi cara kita memandang dan berinteraksi dengan dunia politik. Sementara itu, politik memberi konteks, tantangan, dan kadang-kadang batasan bagi sastra. Melalui dinamika ini, sastra dan politik bersama-sama membentuk pemandangan intelektual dan kultural suatu masyarakat, menggarisbawahi pentingnya kedua domain ini dalam memahami dan membentuk dunia di sekitar kita.
Sebab itu, pengalaman menulis tema-tema politik melalui tulisan-tulisan opini tidak hanya memperkaya pemahaman saya tentang realitas politik, tetapi juga membawa dimensi baru dalam karya sastra saya. Saya belajar bahwa kekuatan sastra tidak hanya terletak pada keindahan kata atau plot yang menarik, tetapi juga pada kemampuannya untuk menyentuh, mempengaruhi, bahkan mengubah pandangan politik pembaca. Meski ini bukan jaminan bahwa cerpen atau tulisan saya semakin baik, sebab ini masih dalam proses yang butuh waktu panjang.
Akhirnya, sastra dan politik bukanlah dua dunia yang terpisah. Sebaliknya, keduanya saling melengkapi dan memperkuat. Narasi dalam sastra menjadi lebih kuat dan bermakna ketika disentuh oleh pemahaman politik yang mendalam, dan sebaliknya, diskursus politik menjadi lebih hidup dan berwarna ketika diperkaya oleh kehalusan sastra. Dengan proses ini, saya perlahan belajar memahami bahwa setiap kata yang ditulis, baik dalam opini politik maupun dalam narasi cerpen, bukan hanya sekadar penyampaian ide, tetapi juga merupakan manifestasi kekuatan narasi yang bisa memengaruhi, membuka wawasan, dan pada akhirnya, menjadi bagian dari perubahan sosial yang lebih besar. Sastra, dalam segala bentuknya, adalah sebuah kekuatan naratif yang tak hanya menghibur, tetapi juga mengedukasi dan membuka kemungkinan pilihan kita untuk bertindak atau merespon sesuatu.
Ini bukan hanya tentang penciptaan karya yang mengandung pesan politik, tetapi juga tentang bagaimana narasi sastra dapat membentuk dan memperkuat pandangan politik kita. Melalui seni kata, sastra dan politik bisa menyatu, tidak hanya untuk mengungkapkan kebenaran, tetapi juga untuk membuka pintu bagi pemahaman yang lebih dalam dan empati terhadap dunia di sekitar kita.*
*Pertama kali dimuat melalui Koran Jawa Pos, Halte, Sabtu, 9 Desember 2023.
Post a Comment: